"Cantik," suara lembut itu mengagetkanku. Menarikku kembali ke alam nyata setelah berjam-jam kupandangi sendiri paras wajahku dibalut kain panjang yang kusebut jilbab.
"Sudah cantik, Sayang," perempuan paruh baya yang kupanggil Umi itu menghampiri aku.
Raut mukaku sekejap berubah dari kaget menjadi merah. Tak hanya malu tapi juga sedih mengingat kejadian malam beberapa pekan lalu.
.....
Hujan turun begitu deras. Jam menunjukkan di angka 10. Namun sepertinya belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Cafe Anak Muda, ku sapu seluruh ruangan. Terlihat tinggal hitungan jari orang yang masih bertahan di cafe ini.
"Kamu mau sampai jam berapa di sini?" lelaki yang dari tadi menemaniku angkat bicara.
Rio, dia teman seangkatan di kampus. Satu jurusan dan kebetulan satu kelompok mengerjakan tugas kuliah kali ini.
Aku menyesal, mengapa tak ku iyakan ajakan Sari dan teman-teman naik mobil tadi. Gara-gara keasyikan nulis laporan. Kebiasaan kalau sudah fokus dengan satu hal, aku lupa waktu. Aku terus menggerutu dalam hati, merutuki tindakanku tadi.
" Aisyah," panggil Rio lagi.
" Eh.. apa?" kataku mengalihkan perhatian agar tidak terlihat wajah gelisahku.
" Hujan akan semakin deras. Cafe ini juga terlihat akan tutup. Mau pulang sama aku?" Rio terlihat tidak basa basi. Tapi, ajakannya membuatku ragu.
Sejenak aku berfikir.
" Aku pesan taksi online aja Yo," kataku sejurus kemudian.
" Yakin?" dia mencoba memastikan keputusanku.
"Iya," jawabku cepat.
Ku ambil hp di tangan. Duh, tapi terlihat baterai tinggal 5%.
Dan, lepp...layar gelap.
Oke sempurna! Hp-ku mati sedangkan agak sulit mencari taksi dan ojek di sekitar sini.
" Hp-mu mati," ucapnya lagi.
" Umi akan sangat khawatir jika kau tak segera pulang," lanjutnya.
Aku masih ragu dan memandang air yang turun semakin deras dari langit. Rasanya cuaca malam ini tidak bersahabat denganku.
Hatiku bimbang, kurapikan jilbab yang tak berantakan menutupi keresahanku.
" Santailah Aisyah," tegur Rio kesekian kalinya.
" Kau bisa menggunakan tasmu untuk menjaga jarak saat aku memboncengmu," kalimat laki-laki berkacamata itu ringan. Dia terlihat santai sekali namun aku yang merasa berat.
Jika aku pulang malam-malam bersama laki-laki yang bukan mahramku? Apa kata orang-orang saat melihat kami?
Aku belum juga menjawab. Berharap hujan segera reda. Jam dinding menunjukkan gerakan ke angka 11."Duhai Rabbi, tolong hambamu ini!" ibaku dalam hati.
Rio terlihat mulai berkemas dan bersiap pulang. Merapikan tas dan mengenakan jaket jeans kesayangannya. Jaket yang entah sudah berapa lama dia gunakan hingga warna biru sudah mulai pudar ke arah putih.
Ku lirik dia, hatiku sebenarnya diantara dua pilihan. Jika aku pulang maka terpaksa harus berboncengan dengan Rio. Jika tak segera pulang maka...
"Rio tunggu!," panggilku pada laki-laki beransel biru itu. Dia menoleh setelah tangannya akan memutar gagang pintu.
Dia memberi isyarat melalui kedipan matanya seakan berkata,"Ayo segera!"
Aku segera berkemas dan berlari ke arahnya.
Kami menyusuri derasnya hujan. Mukaku terasa pucat karena hujan yang turun dengan intensitas tinggi ini. Rio berkali-kali melepas kacamatanya untuk memastikan pandangannya tidak kabur karena air.
"Kamu gakpapa?" tanyaku khawatir dengan sikapnya.
"Gakpapa," jawabnya singkat.
Motor melaju tidak terlalu kencang namun Rio terlihat sudah tidak seimbang memgendarai motor. Jalanan aspal agak licin karena guyuran air hujan. Rio beberapa kali mengusap wajahnya yang terterpa air. Dan...
" Rio awas!" teriakku saat kulihat motor menuju ke arah pohon besar di pinggir jalan belokan rumahku.
Brak!
Badanku terlempar sekitar satu meter dari motor dan Rio yang masih memegang setir. Terlihat dia tertindih bagian jok motor.
Mataku samar melihat dari kejauhan hingga akhirnya semua berubah gelap dan aku tak ingat kejadian selanjutnya.
****
Ku peluk erat tubuh umi yang terasa hangat. Tangan umipun meraihku dan memeluk erat kembali.
Ah, nyamannya.
"Maafkan Aisyah ya Umi," kataku sambil terisak pelan.
"Belum bisa menjaga nama baik almarhum Abah sebagai muslimah yang baik," tangisku makin menjadi.
Umi mengelus kepalaku yang berbalut jilbab biru itu. Namun usapannya terasa sampai ke dada. Nyaman dan tenang.
"Tak apa Aisyah, Abah pasti bangga melihat perubahan Aisyah sekarang," katanya menenangkan.
Tangisku makin pecah. Teringat pilihan menggunakan jilbab ini baru aku lakukan-setelah Abah meninggalkan dunia ini selama-lama-setengah tahun lalu. Padahal Abah dan Umi terkenal sebagai tokoh agama yang kuat di kampung.
Dan saat aku memutuskan berjilbab, menutup aurat dengan sempurna. Kejadian bersama Rio membuat umi menjadi bahan omongan satu kampung. Ya, semua itu karena riwayat masa laluku yang belum bisa menjadi teladan sebagai kakak dan anak seorang ustad ternama.
Pernah suatu ketika tetangga depan rumah melihatku makan menggunakan tangan kiri sambil berdiri. " Ih, makan kok sambil berdiri Mbak Aisyah. Itu gak boleh, gak nyunah!" celetuknya.
Atau saat aku pergi keluar rumah tanpa kaos kaki. Ada saja yang memberi komentar," Mbak Aisyah sudah berjilbab ya sekarang," tegur perempuan samping rumah. "Tapi kok menutup auratnya belum sempurna. Itu kaki kan juga aurat," lanjutnya lagi.
Hingga yang paling menyakitkan, saat pergi ke warung dekat rumah. Segerombolan tetangga sedang berbincang-bincang namun isinya sindiran.
"Makanya kalau punya anak perempuan harus dijaga ya Bu-Ibu, jangan kelayapan malam-malam. Hujan-hujanan lagi," kata seorang ibu berkerudung pink.
"Iya, kan kita gak tahu azab Allah datang dalam bentuk apa jika melanggar syariatnya," sambung ibu yang lain.
"Hati-hati kalau sampai terjadi tabrakan lagi dan ternyata tabrakannya sama laki-laki yang belum halal, naudzubillah!" tungkas yang lain.
" Aduh, malu sama jilbabnya itu lho!," seru yang lain terdengar jelas di telingaku.
Dan ajang gosip terus berlanjut bahkan saat aku sudah menghilang dari hadapan mereka.
Ah, kadang dadaku sesak mendengar komentar-komentar yang mereka lontarkan. Kampungku memang terkenal cukup religius. Dan sangat bagus semangat belajar agamanya khususnya para perempuannya sudah hampir menutup aurat dengan baik. Namun satu yang disayangkan, jika ada yang tidak sama dengabn mereka maka akan menjadi bahan pembicaraan. Aku miris sekali!
Ternyata tak mudah untuk menjaga niat dalam menjadi pribadi yang lebih baik. Hijrah ini berat sekali. Bagaimanakah kondisi Rasulullah dan para sahabat saat mendapati tekanan dari kafir Quraisy ya? Begitu kuat iman mereka. Dan hijrah menjadi pilihan terbaik mereka. Tetapi hijrah itu tergantung niatnya. Untuk apa?
Sepertinya aku sedang berada pada ujian di titik niat hijrahku. Aku memutuskan menutup aurat dan meninggalkan dunia fana bukan untuk siapa-siapa. Tapi karena Allah. Semoga Allah menguatkanku agar aku tak hanya menutup auratku tapi juga nafsu duniaku. Lisanku dan sikapku dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas? Apakah setiap orang yang memutuskan berjilbab setelah sekian lama berada di dunia bebasnya harus terlihat sempurna di mata mereka?
.....
" Gak perlu risau dengan komentar orang lain Sayang," ungkap Umi membuka percakapan kami.Ku pandangi wajahnya yang begitu dekat denganku kini.
"Kamu tahu kenapa Abah dan Umi tak pernah memaksamu menutup aurat?" tanya umi padaku.
Aku hanya menggeleng.
" Berislam itu harus dari hati. Bukan sekedar ikut-ikutan. Apalagi jika niatnya karena manusia lain," papar umi menenangkan.
Aku masih tertegun menyimak.
" Jika kamu melakukan segala sesuatu karena rasa cintamu karena Allah. Maka hanya keridaan Allahlah tujuanmu," lanjutnya lagi.
"Kelak jika Abah dan Umi sudah tiada. Maka kau tahu bahwa tujuanmu karena Allah. Maka berislamlah karena Allah," Umi menutup penjelasannya.
Air mataku mengalir. Betapa Abah dan Umi sangat bijaksana. Ah, aku menjadi merasa bersalah atas sikapku selama 20 tahun ini. Saat mendiang Abah masih ada, setiap ada sesi melingkar bersama anggota keluarga aku lebih banyak mengabaikan petuah-petuah Abah.
Maafkan Aisyah, Abah.
" Setiap orang memiliki kesempatan menjadi lebih baik. Saat kesempatan itu datang maka segera sambutlah," terngiang nasihat Abah selepas Subuh. Di sesi melingkar keluarga kami dan ternyata itu adalah nasihat terakhir dari Abah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir setelah menunaikan Salat Dhuha.
Terima kasih Abah!
Abah telah berhasil membuat Aisyah hijrah seperti sekarang ini. Aisyah akan menjadi anak salihah yang mendoakan Abah di sana. Agar Aisyah menjadi amal jariyah bagi Abah dan Umi. Aamiin.
bener banget nih pesan si abah, setiap orang pasti punya kesempatan untuk menjadi lebih baik...
BalasHapusHuhuhu.. iya. Hiks..kalimat yg suka aku jadikan motivasi pas lagi acak adut menjalani hari...sini peluk virtual...
Hapusberbanding terbalik antara kawasan yang religius dengan realita, mereka lebih nyinyir dari yang tidak religius, aneh gak sih? aku sih aneh, jadi harus lebih kuat di nyinyirin sama lingkungan religiuys daripada gak, termasuk urusan beragama itu sendiri. kita mau jilbaban atau gak tetep aja di omongin. good story, bikin lagi yang lain ya kak, hehe
BalasHapusEhm.. begitulah. Sedih ya, padahal pemahman agama itu membuat kita makin bijak seharusnya.
HapusWah, terus nasib Rio akhirnya gimana Mbak? Selamatkah? Atau peristiwa kecelakaan itu jadi jalan hidayah buat Rio?
BalasHapusHahaha dia cameo di cerita ini. Kalo bikin novel.mungkin ntar ada scene khusus buat dia. Karena cerpen jadi ga dibahas banyak.
Hapuswah jadi teringat pertama kali pakai jilbab :) memang ya perubahan untuk lebih baik harus dimantapkan hatinya karena Allah, biar lebih mudah menjalaninya :) keren nih, yukk lanjutkan :)
BalasHapusWah .. alhamdulillah terima kasih sejujurnya gak terlalu pede nulis fiksi. Karena masih minim pengalaman . Tapi jadi semangat lagi..
HapusBetul banget mbak hamim, berislam itu harus dari hati, niat karena Allah, bukan karena niat dari makhluk lain yang namanya manusia. Berubah lebih baik pun juga diniatkan yang utama karena Allah, bukan karena sekedar ikut-ikutan. Biasanya yang ikut-ikutan gitu gak bakal lama, huhu
BalasHapusYes!
HapusKarena kata hati lebih kuat dibanding kata orang. Semoga begitu ya mbak.. bagaimanaoun . Hidup kita tanggung jawab kita bukan tanggung jawab tetangga
Barusan dengar sebuah podcast, sepertinya org kita lebih takut smaa agama daripada sama perkembangan ilmu pengetahuan, makanya kalau ada yg keliatan alim lgsg kagum tp org yg berilmu malah dianggap biasa aja. Pdhl kelas tuntuntan menuntut ilmu itu adalah kewajiban bukan hanya sekadar terlihat dr luar saja ya. Setuju bgt smaa pemikiran abah uminya nih
BalasHapusHehehee..
HapusMungkin lebih ke arah. Sikap bijak.
Karena pada dasarnya orang beragama harusnya berilmu. Sayangnya, kedua hal tersebut seakan dua hal yg berbeda. Akhirnya terkesan agama lebih ke simbol pdahal beragama itu harusnya dipenuhi dg ilmu ya. Iya mbak...tokoh ummi emang menunjukkan sisi bijak.
Wah mba coba kirim ke media nihh, keren lhoo. Kalo dimuat kan lumayan yaak hihi
BalasHapusMasya Allah. Begitu ya.. ini sejujurnya g PD nulis fiksi. Karena berasa baru belajar. Ntar saya coba insya Allah.
HapusMasyaallah iki mengingatkanku ketika galau saat pertama kali menggunakan hijab ... masih belum punya keteguhan hati... hanya kita yg bisa menciptakan keteguhan hati itu
BalasHapusYup!
HapusNulis ini salah satunya adalah cara meluruskan azzam . Apa sebenarnya yang kita carinsaat memciba menjadi lebih baik.
kadang sedih sih kalau lihat yang 'sudah merasa paling baik'dan nyinyirin orang yang baru belajar hijrah. Yang harusnya didukung malah dihina-hina, jadi ingat seorang ustaz pernah berkata, "jangan gara2 omongan kita, ada orang yang baru belajar hijrah malah akhirnya lepas jilbab. Tanggungjawab lo."
BalasHapusHiks.. semoga kita dijaga dari mulut2 seperti itu.
Huhuuuu iya mbakkkk...
HapusAamiin. Semoga kita juga bukan bagian dari mereka meski tanpa sengaja. .
kadang mulut orang itu minta dikruwes. Gampang banget nyinyir, menilai hanya apa yang dia lihat di luar.
BalasHapusHwkakaaka... kruwes itu makanan yg kalo di makan kres itu ta.. hahahaha
HapusSemga kita senantiasa menjaga lisan kita ya.
Emang ni ya netizen dimana2 kalau komentar ga mikir. Tapi segitu Aisyah sudah menjaga dirinya... qodarulloh kecelakaan ya mbak. Eh ini buku novel apa gmn mbak?
BalasHapusCerpen mbak.. masih belajar nulis. Selama ini nulis non fiksi terus ini nyoba memberanikan nulis fiksi.
HapusCeritanya bagussss .... Memang soal ini sering disalahartikan/ Padahal jilbab dan perilaku adalah 2 hal berbeda.
BalasHapusYup!
HapusMakanya aku gak sepakat dengan pernyataan, jilbabin hatinya dulu. Padahal seiring berjalan waktu memang harus menjadi sarana perbaikan . Toh dalam islam jilbab itu sebuah kewajiban dalam rangka menutup aurat ..gitu sih simpelnya
Ya ampun bagus banget sih tulisannya. "Memakaikan" jilbab tanpa paksaan namun karena kesadaran itu memang luar biasa dan akan nempel terus di hati.
BalasHapusIya bunda. Betul. Itulah perlu membangun pemahaman yang baik sejak dini. Namun hidayah tentu hak allah
HapusTetep semangat aja. Namanya berubah menjadi lebih baik itu memang banyak ujiannya.. Ga semudah membalikkan telapak tangan.. Ya kan sdg diuji biar jadi lebih baik lagi 😁
BalasHapusIya kak cerpen ini.. hehehehe
HapusMasyaAllah tabarokallah bunda, tulisan perdananya ketjeeh bagets lhoo...
BalasHapusHiks jadi ingat awal2 dulu pake hijab.
Kalo.diterusin akan lebih asiik tuuh.
Karena sdh membuat penasaran pembacanya..
Suksees selalu ya ka.Hamimeha
Bismillah siap
HapusAlhamdulillah .masya alloh ustdzah. Terima kasih sudah mampir
BalasHapusBagus ceritanya, isi ceritanya mengandung hikmah tentang wanita islami terkait pandangan memakai jilbab dalam islam.
BalasHapusUdah lama saya gak nulis cerpen lagi ;)
Iya kak betul. Temanya hijrah sih sebenarnya
Hapus