Konten [Tampil]
Hai Sobat Hamim!
Semoga dalam kondisi sehat ya! Munculnya varian baru dari virus corona ini cukup membuat aktivitas yang mulai akan berjalan normal menjadi terhambat kembali. Yuks tetap patuhi prokes, jaga imun, dan iman tentunya sebagai langkah mencegah angka penularan covid 19.
Eh, berbincang tentang penyakit menular membuatku teringat akan penyakit tropis terabaikan yakni kusta. Konon katanya penyakit ini diklaim oleh masyarakat sebagai penyakit akibat kutukan. Dampaknya, setiap orang yang terkena kusta selalu mendapat stigma negatif dari lingkungan sekitar. Akibatnya, penyintas enggan berobat sehingga kustanya makin parah dan mengalami disabilitas.
Ehm, apakah benar bahwa penyakit kusta adalah penyakit karena kutukan?
Uniknya, beberapa waktu lalu melalui info dari komunitas 1minggu1cerita, aku berkesempatan hadir di salah satu webinar di ruang publik KBR. Di kesempatan itu ada seorang OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta) bercerita sudah terkena kusta bahkan sejak usia enam tahun namun tetap bisa menjalani kehidupan normal bersama keluarganya bahkan sudah menikah serta punya anak.
Nah lho!
Kabarnya, OYPMK ini aktif bergerak di organisasi kusta yaitu organisasi Permata (Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional). Keaktifannya dalam sebuah organisasi ini adalah dalam rangka edukasi terkait penyakit kusta secara benar, mengajak para OYPMK untuk terlibat sehingga bisa saling mendukung, termasuk mengurangi stigma negatif di kalangan masyarakat melalui penyadaran edukasi yang mereka berikan selaku OYPMK.
Ehm, jadi apa benar kusta adalah kutukan? Yuks deh kita lebih aware sehingga kita lebih peduli penyintas kusta itu sebenarnya seperti apa. Jadi bukan bermodal "katanya" saja.
Tentang Kusta dan Stigma Negatifnya
Yup!
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa orang yang terjangkit kusta dalam kondisi parah bisa mengalami disabilitas. Karena umumnya, orang yang datang berobat karena kusta itu jika sudah tahap parah. Namun bukan berarti tidak ada harapan sehingga kita ikut mengklaim bahwa kusta tidak bisa disembuhkan jika ditangani sejak dini.
Faktanya, dari segi medis sebagaimana dituturkan oleh dokter Astri Ferdiana sebagai salah satu narasumber di Ruang Publik KBR kemarin menyampaikan, "Dari segi medis, kusta memang penyakit infeksi yang menular tapi sifatnya kronis jadi jangka lama. Dan penyebabnya itu bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang kulit dan saraf tepi. Dan jika kusta ini terlambat dideteksi atau diobati maka akan timbul deformitas atau kelainan anatomi atau bisa disebut juga kecacatan pada beberapa bagian tubuh, mata, jari tangan, dan jari kaki."
Akan tetapi, jika penyakit kusta yang sudah diobati memiliki kemampuan menularkan yang kecil. Apalagi jika kondisi terjangkit kustanya masih dalam bentuk gejala. Hal inilah yang perlu dipahami oleh masyarakat, sehingga mereka peka dengan adanya gejala yang muncul dari kusta ini.
Sayangnya, tingginya stigma negatif di kalangan masyarakat membuat situasi sulit baik bagi penyintas maupun keluarganya. Hal ini dikarenakan kurangnya edukasi tentang penyakit kusta. Para penyintas pun banyak yang tidak mau menerima kondisi mereka yang terinfeksi kusta, enggan berobat, sehingga berdampak pada disabilitas jika tidak segera ditangani.
Sebaiknya kita belajar dari pak Al Qadri, yang berjuang menjadi OYPMK dan akhirnya bisa aktif membuat gerakan positif dalam edukasi terkait penyakit kusta. Yuks simak yuks!
Belajar dari Pengalaman OYPMK, Pak Al Qadri dari Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional
Pak Al Qadri adalah OYMK sejak berusia enam tahun dan menjalani hidup sebagai penyintas kusta dengan tidak mudah. Sejak dinyatakan terinfeksi tak hanya pihak sekolah tempat dia belajar yang menolaknya, melainkan lingkungan sekitar bahkan sanak saudara."Permasalahan utama kusta ini adalah stigma itu sendiri. Sebenarnya masalah kusta sudah bisa selesai karena kusta saat ini bisa disembuhkan. Karena dunia kesehatan sudah bisa melakukannya," jelas perwakilan dari perhimpunan mandiri kusta nasional itu dengan optimis.
Hal ini berbeda dengan di zaman dulu, ketika di tahun 70an Pak Kadri merasakan bagaimana orang tuanya pontang panting mencari layanan kesehatan untuk dapat mengobati beliau hingga akhirnya tersebar kabar beliau terkena kusta oleh OYPMK yang lain di tahun 80an. Dan kemudian, OYPMK itu yang merawat Pak Al Qadri.
Namun amat disayangkan, di era sekarang masyarakat masih punya stigma negatif yang tinggi dengan orang yang terinfeksi kusta sehingga mereka menarik diri, menjauh, bahkan menolak untuk berinteraksi dengan OYPMK.
Penuturan yang menyayat hati ini disampaikan oleh Pak Al Qadri bahwa beliau ketika diindikasi penyakit kusta di usia 6 tahun. Banyak orang tua yang membatasi pergaulan anaknya dengan beliau. Diskriminasi yang seperti inilah ternyata lebih menyakitkan dari sakit kusta itu sendiri.
Tak hanya itu, dampak stigma negatif yang tinggi ini juga berakibat pada keluarga si penyintas. Info dari Pak Al Qadri menyebutkan, di beberapa wilayah bahkan ada yang tidak mau menikahkan anaknya karena keluarganya adalah OYPMK. Selain itu, saat melakukan edukasi terkait kusta inipun kadang perlu bersumpah terlebih dahulu.
Lebih menyedihkan lagi karena stigma negatif ini, berakibat pada orang yang terkena kusta tidak mau menerima dirinya terkena kusta. Sehingga mereka pun sulit untuk diajak bergabung ke organisasi kusta. Terlebih mereka bisa jadi tidak mendapat edukasi yang baik dan bisa jadi berlanjut pada penanganan yang kurang pula. Sehingga penyakit kustanya makin parah.
Sedih ya Sobat Hamim!
Perjuangan OYPMK Melawan Stigma
Jika menyimak perjuangan Pak Al Qadri, beliau bisa bertahan hingga saat ini. Kemudian menjalankan kehidupan sebagaimana manusia pada umumnya yakni membangun rumah tangga, memiliki anak. Dan faktanya, anak-anak beliau tumbuh sehat dan tidak terinfeksi kusta.Hal ini disebabkan kondisi Pak Al Qadri dan istri yang sudah melakukan pengobatan secara rutin sehingga tingkat menularkannya rendah, mengerti tata cara bagaimana berinteraksi dengan orang lain, dan menjaga daya tahan tubuh anak-anaknya.
Fyi Sobat Hamim, Pak Al Qadri juga tetap tinggal bersama keluarga intinya dengan ketiga saudaranya yang lain. Kabar baiknya, ketiga saudaranya tidak terinfeksi kusta. Masya Allah ya!
Seharusnya, fakta semacam ini perlu untuk bisa disebarluaskan agar masyarakat mau memahami bahwa OYPMK tidak perlu dijauhi apalagi didiskriminasi. Dengan demikian mereka punya harapan untuk sembuh dan hidup sebagai orang normal pada umumnya. Meski harus menjalani pengobatan secara rutin.
Bentuk Peduli Penyintas Kusta dari kita
Yupi, Sobat Hamim tahukah jika setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai hari kusta sedunia. Adanya peringatan Hari Kusta Sedunia (HKS) merupakan bentuk dukungan moral terhadap para penyandang penyakit kusta di seluruh dunia.Pun beberapa waktu lalu, seorang teman yang aku kenal juga membagikan kegiatan bakti sosial peduli penyintas kusta di laman media sosialnya. Wah, aku terharu sekali karena ini artinya bentuk peduli penyintas kusta bisa dilakukan dengan berbagai cara.
Tak terkecuali NLR --sebuah oragnisasi non pemerintah yang didirikan di Belanda pada tahun 1967-- ini memang concern dalam menangani kasus kusta dengan targetnya eliminasi kusta. Dan info terkini disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam penyebaran kasus kusta. Ehm, lumayan ya!
Tercatat, bahwa ada 6 provinsi belum tereliminasi kusta dan masih ada 90an kabupaten yang masih mengalami permasalahan kusta di daerahnya. Salah satu faktor yang ternyata membuat terhambatnya penangan kusta ini adalah masih tingginya stigma negatif terhadap penyakit kusta hingga saat ini.
Dalam rangka HKS ini NLR di ruang publik KBR mengadakan webinar yang bertajuk "Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!". Tema ini selaras dengan tema HKS tahun ini yakni Mari Bersama Hapus Stigma dan Diskriminasi Kusta! Aha, sangat menarik bukan!
Tak terkecuali NLR --sebuah oragnisasi non pemerintah yang didirikan di Belanda pada tahun 1967-- ini memang concern dalam menangani kasus kusta dengan targetnya eliminasi kusta. Dan info terkini disebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam penyebaran kasus kusta. Ehm, lumayan ya!
Tercatat, bahwa ada 6 provinsi belum tereliminasi kusta dan masih ada 90an kabupaten yang masih mengalami permasalahan kusta di daerahnya. Salah satu faktor yang ternyata membuat terhambatnya penangan kusta ini adalah masih tingginya stigma negatif terhadap penyakit kusta hingga saat ini.
Dalam rangka HKS ini NLR di ruang publik KBR mengadakan webinar yang bertajuk "Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!". Tema ini selaras dengan tema HKS tahun ini yakni Mari Bersama Hapus Stigma dan Diskriminasi Kusta! Aha, sangat menarik bukan!
"Masalah stigma ini adalah masalah yang cukup kompleks sehingga dibutuhkan upaya yang komprehensif dan konsisten," ujar Dr Astri dengan nada berat.Beliau juga menyampaikan upaya NLR dalam isu kusta khususnya menanggulangi stigma dan diskriminasi ini adalah sebagian besar arah kegiatannya adalah membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat, nakes, pemerintah, dan stakeholder, tokoh masyarakat dan agama untuk menyadari apa itu kusta dan memahami bahwa OYPMK memiliki hak yang sama dengan manusia normal lainnya.
Kita lawan stigma negatif dengan edukasi yang benar terkait kusta.
Adapun bentuknya berupa kampanye peningkatan kesadaran, pelatihan, kampanye lewat berbagai media, talk show, menargetkan beberapa kelompok masyarakat dan tokoh untuk terlibat, melakukan advokasi, dll.
Bagaimana dengan kita?
Kita bisa mengambil peran kecil dalam melakukan kampanye peduli penyintas kusta dengan cara menyebarkan gaung kusta lebih luas melalui laman media sosial ataupun tulisan-tulisan kita. Minimal ke orang di sekitar kita.
Adapun bentuknya berupa kampanye peningkatan kesadaran, pelatihan, kampanye lewat berbagai media, talk show, menargetkan beberapa kelompok masyarakat dan tokoh untuk terlibat, melakukan advokasi, dll.
Bagaimana dengan kita?
Kita bisa mengambil peran kecil dalam melakukan kampanye peduli penyintas kusta dengan cara menyebarkan gaung kusta lebih luas melalui laman media sosial ataupun tulisan-tulisan kita. Minimal ke orang di sekitar kita.
Cara membangun awareness tentang kusta
Tingginya stigma negatif terhadap penyakit kusta dikarenakan kurangnya pemahaman terkait kusta itu sendiri. Akupun sebagai orang awam, menyimak pemaparan pak Qadri yang terkena kusta sejak usia anak-anak sempat membuatku was-was.Alhamdulillah, dokter Astri maupun pak Al Qadri memberikan edukasi dan mengulas dengan baik tentang apa hal-hal yang perlu kita perhatikan terkait kusta ini.
Pertama adalah lebih peka terhadap gejala kusta sejak dini
Sebab gejala awal kusta sangat sederhana. Dan kondisi yang sederhana ini umumnya membuat orang jadi abai dan menganggap gejala awal kusta ini sebagai penyakit kulit biasa.
Nah, ini yang perlu ditingkatkan terkait kewaspadaan kita dalam melihat munculnya indikasi gejala kusta ya Sobat Hamim. Pasalnya, kusta muncul mirip dengan panu, yakni muncul bercak yang bisa merah atau putih namun bedanya untuk kusta ini biasanya tidak gatal, tidak nyeri, tidak bersisik, bahkan mati rasa. Sehingga penyintas kusta tidak merasakan sakit saat tertusuk jarum atau duri pun dengan panas.
Wah, bahaya ya Sobat Hamim!
Maka dari itu, inilah pentingnya untuk kita menambah wawasan terkait kusta agar tidak "kecolongan". Apalagi sebagai orang tua, hal ini tentu mengkhawatirkan kan ya! Yuks lebih aware dengan edukasi terkait kusta!
Jika sudah ada gejala dan dinyatakan bahwa gejala tersebut indikasi kusta. Maka seseorang harus segera melakukan pengobatan.
Kabar baiknya, pengobatan kusta ini gratis lho Sobat Hamim. Periksakan diri ke puskesmas terdekat dan dapatkan penanganan yang tepat di sana.
Ketiga, kooperatif melakukan pengobatan
Kunci kesembuhan dari kusta ini adalah kerjasama yang baik antara tim medis, penyintas, dan keluarga. Pihak penyintas harus bisa kooperatif melakukan pengobatan, sebab waktunya yang cukup panjang selama proses penyembuhan.
Mengikuti serangkaian pengobatan secara lengkap hingga sembuh. Pihak yang cukup signifikan berperan di sini adalah dukungan keluarga terhadap penyintas. Dengan membantu mengingatkan konsumsi obat dan mendampingi selama proses pengobatan.
Perlu diketahui bahwa bagi OYPMK selama melakukan pengobatan harus mengkonsumsi obat secara rutin. Jika sekali terlewat, maka harus mengulang dari awal. Masya Allah perjuangan bangetkan!
Keempat, dukungan positif baik khususnya penguatan mental
Nah, ini dia yang tak kalah penting ya. Sebagaimana penuturan Pak Al Qadri selama menjadi OYPMK, bahwa masalah utama kusta ini adalah stigma negatif yang tinggi.
Padahal dunia kesehatan sudah menemukan cara menyembuhkan kusta ini. Hanya saja perlu tiga poin di atas. Harapannya, banyak masyarakat yang teredukasi terkait penyakit kusta ini. Sehingga mereka tahu bagaimana menghadapi isu kusta..
Terlebih, memberi dukungan dengan peduli penyintas kusta melalui dukungan moral tetap berinteraksi, tidak mendiskriminasi, serta memotivasi mereka untuk berobat hingga sembuh. Dukungan positif ini juga menjadi salah satu obat bagi mereka bukan?
Sebagaimana pesan Dr Astri selaku Technical Advisor NLR Indonesia," Kami mengajak semua pihak baik individu baik kelompok masyarakat, baik pemerintah, maupun swasta, kesehatan maupun non kesehatan, industri, akademisi, universitas dan semua sektor, untuk bersama-sama bekerja sama menuju zeroliprosi, melalui zero transmission, zero disability , zedo exclusion."
Keempat, dukungan positif baik khususnya penguatan mental
Nah, ini dia yang tak kalah penting ya. Sebagaimana penuturan Pak Al Qadri selama menjadi OYPMK, bahwa masalah utama kusta ini adalah stigma negatif yang tinggi.
Padahal dunia kesehatan sudah menemukan cara menyembuhkan kusta ini. Hanya saja perlu tiga poin di atas. Harapannya, banyak masyarakat yang teredukasi terkait penyakit kusta ini. Sehingga mereka tahu bagaimana menghadapi isu kusta..
Terlebih, memberi dukungan dengan peduli penyintas kusta melalui dukungan moral tetap berinteraksi, tidak mendiskriminasi, serta memotivasi mereka untuk berobat hingga sembuh. Dukungan positif ini juga menjadi salah satu obat bagi mereka bukan?
Sebagaimana pesan Dr Astri selaku Technical Advisor NLR Indonesia," Kami mengajak semua pihak baik individu baik kelompok masyarakat, baik pemerintah, maupun swasta, kesehatan maupun non kesehatan, industri, akademisi, universitas dan semua sektor, untuk bersama-sama bekerja sama menuju zeroliprosi, melalui zero transmission, zero disability , zedo exclusion."
Sudah terlalu lama indonesia bergelut dg kusta. Sudah terlalu lama OYPMK mengalami stigma dan diskriminasi dan ini menuju tahun 2030 dimana kita berkomitmen bahwa Indonesia harus nihil penularan, nihil disabilitas , dan nihil eksklusi dari stigma serta diskriminasi."Nah, keempat poin di atas akan terbangun jika kita mau belajar. Dan media belajar di era digital saat ini sangatlah mudah. Membaca buku, mencari informasi melalui laman online yang terpercaya, ikut webinar/seminar terkait kusta , dsb.
Mari kita ambil peran untuk peduli penyintas kusta melalui langkah kecil yang bisa kita lakukan terutama melawan stigma negatif terhadap penyakit kusta.
Tolak stigmanya, bukan orangnya!
bener banget yang harus ditolak itu stigmanya bukan orangnya. memang kita ini harus meningkatkan kesadaran juga edukasi tentang penyakit kusta serta menyebarkan gaung kusta lebih luas untuk melawan stigma negatif mengenai kusta
BalasHapusAh iya, harus stigma tentang penyitas kusta nggak boleh ada lagi ya mbak.
BalasHapusMalahan kita harus lebih peduli
Mbak, aku baru ngeuh kalau kusta tuh bisa menyebabkan disabilitas. Berarti kuat sekali bakterinya ya. Thanks a lot buat artikel yang lengkap membahas kusta ini, setidaknya kita jadi tahu cara mencegahnya
BalasHapusSemoga kita semua bisa memahami bagaimana ketika bersama penyakit kusta, karena tidak mudah menular dan bisa disembuhkan bila diobati sejak awal.
BalasHapusTernyata penyakit kusta "diam2" masih banyak ya di negara kita. Sementara persoalan stigma masih belum usai. Yes, siapapun berhak sembuh dan diterima kondisinya seperti orang normal pada umumnya. PR buat kita semua, nih
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusBetul sekali yang harus ditolak itu stigma nya sedangkan orangnya benar-benar membutuhkan perhatian dan rangkulan dari semuanya. Informasi di masyarakat juga belum begitu merata ya
BalasHapusDi Makassar banyak tuh penderita kusta, bahkan ada rumah sakit khusus kusta. dan banyak diantara penderita ini yang jadi pengemis di pinggir jalan
BalasHapusjujur dulu aku juga takut sama penyakit kusta dan kalau ketemu orang juga kayaknya bakal menghindar. memang perlu sosialisasi yang lebih intensif lagi terkait penyakit kusta ini agar penderitanya tidak dikucilkan di masyarakat
BalasHapusBener dari segi mental kita harus mensupport para penyintas ini dengan baik. Jauhi stigma dan mungkin sumber penularan penyakitnya, tapi dengan pribadi penderita seharusnya tetap menjaga hubungan dengan baik.
BalasHapusIya betul kupikir kusta udah nggak ada, tapi ternyata masih banyak penyintasnya dan tugas kita buat memberikan ruang dan support untuk mereka yang juga punya hak hidup dengan layak.
BalasHapus